Menyemai Keberlanjutan Tata Kelola Pertambangan Sulawesi Tengah

Pertambangan
Ist

“Di Sorowako kita punya 120 kolam pengendapan. Hasilnya bisa dilihat di Danau Matano yang hingga saat ini masih jernih. Metode serupa akan kami lakukan di Morowali, bahkan sebelum kita memulai aktivitas tambang sama sekali,” ungkapnya belum lama ini.

Bayu menambahkan, jika Danau Matano sejatinya selama ini menjadi wadah limpasan air tambang. Namun dari hasil uji lab, total suspended solid (TSS) air danau tersebut bahkan lebih rendah dari air minum kemasan.

Artinya kejernihan Danau Matano masih terjaga meskipun berada di dekat lokasi tambang, bahkan hingga saat ini masih dijadikan sumber air minum bagi warga sekitar. Hal tersebut bisa terjadi akibat komitmen pihaknya menerapkan pertambangan berkelanjutan, salah satunya pengelolaan air melalui kolam pengendapan.

“Ini bukti bahwa tambang kita, kalau dikelola dengan baik tidak menghasilkan air yang coklat. Kami buktikan selama lima dekade beroperasi di Sorowako, termasuk diantaranya dengan menggunakan teknologi pengelolaan air minum untuk mengelola air tambang di LGS,” paparnya.

Ekonom Universitas Tadulako Mohammad Ahlis Djirimu menyatakan banyaknya pertambangan, termasuk nikel, di Sulteng telah menyebabkan laju deforestasi yang tinggi. Sekitar lebih dari 200.000 hektare lahan di wilayah ini dijadikan konsesi untuk pertambangan.

Akibatnya, efek lingkungan seperti pencemaran air di masyarakat terjadi, bahkan lebih besar lagi dampaknya pada terjadinya banjir dan longsor. Kondisi ini jelas mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.

Padahal, Ahlis menambahkan, pertambangan nikel memberikan dampak ekonomi yang baik bagi Sulteng. Hampir separuh cadangan nikel dunia berada di wilayah ini dan Maluku Utara, yang membuat Sulteng memiliki masa depan cerah dalam menopang ekonomi daerah dan nasional.

Dapatkan Update Berita Terbaru di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *