Racun-racun yang terkandung di dalam tailing dapat merembes mencemari air di sekitar seperti air sungai dan air laut. Tailing nikel dapat melepaskan karsinogen yang sangat beracun yang disebut kromium heksavalen. Kromium ini bisa mengakibatkan penyakit-penyakit pernafasan dan meningkatkan risiko kanker.
Peraturan pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengelompokkan tailing sebagai Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) Spesifik Khusus dengan kategori bahaya 2 (dua), yang dianggap memiliki toksisitas kronis dan berjangka panjang terkait dampak terhadap manusia dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, tailing harus diolah sebagai limbah B3.
Pengelolaan tailing menggunakan metode Penyimpanan Tailing Kering (dry-stack tailings), atau lebih tepat Tailing Tersaring (filtered tailings), di Fasilitas Penyimpanan Tailing (tailings storage facility – TSF) di tanah mengandung risiko sangat besar dan berbahaya di daerah dengan tingkat curah hujan tinggi seperti di Morowali.
Karena tailing dalam bentuk bubur tanah yang sudah dikeringkan masih memiliki kandungan air sekitar 30 s/d 35 persen.
Ketika ditempatkan di Fasilitas Penyimpanan Tailing akan berubah menjadi lumpur ketika ditimpa curah hujan yang tinggi.
Curah hujan tinggi mengakibatkan area Fasilitas Penyimpanan Tailing yang menampung jutaan ton tailing setiap tahun rentan terhadap bencana longsor.
Peristiwa longsor di area PT QMB New Energy Materials, pada 22 Maret 2025 pukul 00.10 Wita, yang menewaskan 3 (tiga) pekerja – Demianus, Irfan Tandi, dan Akbar – membuktikan bahwa pengelolaan tailing dengan metode Fasilitas Penyimpanan Tailing di daerah dengan curah hujan tinggi sangat beresiko terhadap bencana longsor.
Dia juga menyebut, citra satelit Google Earth dari 3 Januari 2025 menunjukkan tanah longsor yang jelas dari fasilitas penyimpanan tailing tersaring yang dioperasikan oleh PT Huayue Nickel Cobalt dengan saluran yang jelas untuk tailing mengalir ke Sungai Bahodopi.