Dengan demikian, tampak bahwa setidaknya satu keruntuhan fasilitas tailing Huayue Nickel Cobalt terjadi bahkan sebelum keruntuhan 16 Maret 2025.
Di daerah pertambangan nikel yang telah mengalami deforestasi di Morowali, curah hujan tinggi memicu banjir seperti berulang terjadi setiap tahun.
Curah hujan tinggi sebagai penyebab banjir, seperti pada 16 Maret 2025, telah mengakibatkan jebolnya tanggul Fasilitas Penyimpanan Tailing PT Huayue Nickel Cobalt.
Diketahui, banjir 16 Maret 2025 melanda Desa Labota dan Kawasan IMIP yang berdampak terhadap 341 KK atau 1.092 jiwa di desa tersebut.
Akibatnya, lingkungan dan warga masyarakat termasuk buruh-buruh menghadapi risiko terpapar tailing yang mengandung logam berat.
Selain curah hujan tinggi yang mengakibatkan banjir dan longsor, ancaman terhadap Fasilitas Penyimpanan Tailing juga bersumber dari gempa bumi.
Gempa bumi yang kuat berpotensi merubuhkan tanggul atau bendungan Fasilitas Penyimpanan Tailing jika struktur konstruksi tidak dirancang untuk tahan gempa.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Morowali (2019-2039) menyebut Kecamatan Bahudopi, lokasi PT IMIP beroperasi, adalah “kawasan rawan bencana” gempa bumi, selain longsor, dan banjir.
Kawasan PT IMIP dan sekitarnya pernah mengalami beberapa gempa keras yang merusak bangunan. Dalam catatan Yayasan Tanah Merdeka, terakhir pada 31 Mei 2024 (pukul 01:08 WITA) gempa dengan Magnitudo 5,1 mengguncang kawasan IMIP dan sekitarnya.
Saat itu beberapa rumah kos para pekerja dan ruang kantor beberapa perusahaan dilaporkan mengalami kerusakan.
Bagaimanapun, kawasan industri nikel tersebut dilintasi Sesar Matano, sebuah sesar aktif yang terhubung dengan Sesar Palu-Koro. Dalam kajian para ahli, diketahui, gempa dengan Magnitudo 7,4 terakhir pernah terjadi di Sesar Matano sekitar 200 tahun lalu.