Masyarakat menolak karena wilayah mereka yang ditetapkan pemerintah sebagai lumbung pangan, malah justru akan dijadikan wilayah pertambangan, lewat izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Selama ini masyarakat tidak pernah dimintai tanggapan, mau atau tidak wilayah mereka diekpsloitasi. Bahkan justru dalam proses hingga perusahaan masuk terdapat banyak manipulasi, seperti warga yang sudah meninggal dibuatkan tandantangan menyetujui pertambangan di wilayah mereka,” ungkap Taufik.
Tidak adanya ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di tengah masyarakat ini lah, yang menjadi sebab masyarakat akhirnya menutup jalan trans sebagai bentuk protes. Namun, protes masyarakat tersebut, kata dia, justru dilawan dengan pengerahan aparat yang berujung pada tertembaknya Erfaldi, salah seorang demonstran.
“Penutupan jalan sebagai protes agar pemerintah tegas untuk mencabut rekomendasi izin tambang. Pemerintah pun tidak kunjung menemui mereka hingga akhirnya jatuh korban akibat peluru aparat,” tegasnya.
Senada dengan Taufik, Adi Prianto juga mengamini, bahwa investasi SDA yang masuk berpotensi konflik dengan masyarakat dan pasti akan ada korban. Korbanya juga pasti rakyat. Untuk itu kata dia, posisi keberpihakan pemerintah seharusnya ketika konflik terjadi ada pada rakyat.
“Namun yang terjadi saat ini, pemerintah memang sedang mengejar investasi sebanyak-banyaknya untuk peningkata fiskal. Kami sudah ingatkan, bahwa konflik juga akan semakin banyak, tapi kemajuan daerah juga menjadi alasan,” terangnya.
Mendekati tahun politik ini pun, dia memastikan akan banyak tambang baru yang masuk, sehingga konflik-konflik baru seperti di Parimo akan terjadi.
Khusus kasus Erfaldi, yang pada akhirnya pelaku yakni anggota Polres Parimo berinisial H divonis bebas Pengadilan Negeri (PN) Parimo, sangat tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat.