ReferensiA.id- Di balik rimbunnya kebun merica yang menyelimuti perbukitan Loeha Raya, tersembunyi cerita tentang perjuangan, ketahanan, dan harapan akan masa depan yang lebih inklusif.
Konflik wacana antara pelestarian lingkungan dan kebutuhan ekonomi masyarakat memang nyata, namun ada juga suara-suara yang lebih tenang—yang mengajak duduk bersama, bukan saling menunjuk.
Fatmawati, warga Loeha yang kini menjalankan usaha kecil di bidang kuliner, mengenang bagaimana tiga tahun lalu ia masih berdiri di garis yang menolak aktivitas tambang.
Namun, waktu dan pengalaman mengajarkannya bahwa membangun masa depan bukan hanya tentang menolak, tapi juga tentang membuka pintu dialog.
“Ada waktunya kita bicara keras, tapi ada waktunya kita mendengarkan. Saya melihat PT Vale membuka ruang untuk keterlibatan perempuan, untuk UMKM, dan saya ingin itu tumbuh. Saya ingin anak saya punya lebih banyak pilihan pekerjaan daripada yang saya punya dulu,” ujar Fatmawati.
Antara Lada dan Lapangan Kerja
Tidak bisa dipungkiri, merica adalah nadi ekonomi Loeha. Namun, seperti yang disampaikan Buana, seorang petani sekaligus ibu rumah tangga dari Desa Loeha, hasil dari kebun merica tidak selalu mencukupi semua kebutuhan rumah tangga.
“Ladang saya tidak besar, dan harga merica fluktuatif. Kadang saya harus menjual ayam atau pinjam ke tetangga kalau anak sakit. Saya berharap, kalau ada tambang, kami bisa ikut serta dan tidak sekadar jadi penonton,” katanya.
Buana, yang dulunya aktif dalam gerakan penolakan, kini memilih sikap yang lebih kolaboratif. “Kami bukan melupakan perjuangan, tapi kami juga butuh solusi. Kalau ada ruang untuk masyarakat terlibat, kenapa tidak kita manfaatkan?”
Tidak semua hal tentang industri tambang berjalan mulus. Bahkan warga seperti Fatmawati dan Buana mengakui akan tetap bersuara bila ada kebijakan yang merugikan masyarakat. Namun mereka juga percaya bahwa solusi tidak lahir dari konfrontasi tanpa akhir.