ReferensiA.id- Pembacaan putusan terhadap mantan Direktur Utama PT Bank Sulteng, Rahmat Abdul Haris, dalam perkara dugaan pelanggaran kerja sama bisnis Bank Sulteng-PT Bina Artha Prima (PT BAP), menyajikan fakta menarik.
Yang paling mencolok adalah uraian tiga majelis hakim yang menyebut Jaksa Penutut Umum (JPU) tidak mampu membuktikan akurasi nilai kerugian negara yang muncul dari adanya kerja sama antara Bank Sulteng dan PT BAP.
Bahkan, tiga majelis hakim pun memiliki pendapat yang berbeda terkait dengan penetapan kerugian negara.
Diketahui, pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) beberapa waktu lalu juga tidak disebutkan adanya kerugian negara dalam perkara yang menjerat Rahmat Abdul Haris.
“Hasil perhitungan kerugian negara Jaksa Penuntut Umum yang dilakukan oleh auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sulteng tidak dilakukan secara proporsional dan tidak sesuai fakta yang terungkap di persidangan,” kata hakim dalam amar putusannya.
Terkait dengan kerugian negara dalam perkara ini, para hakim memiliki pendapat tersendiri. Hakim anggota Sayonara berpendapat, pada kerjasama bisnis antara Bank Sulteng dan PT BAP terjadi kelebihan bayar marketing fee dari Bank Sulteng ke PT BAP, dana tersebut diambil dari dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sekira Rp1,6 miliar.
Sedangkan hakim anggota Alam Nur menyatakan, kerja sama antara Bank Sulteng dan PT BAP secara pribadi menguntungkan perorangan di PT BAP, dengan rincian Direktur PT BAP Bekti Haryanto mendapat Rp439,4 juta, sedangkan Komisaris Utama PT BAP Asep Nurdin Al Fallah menikmati Rp679,2 juta, dengan akumulasi sebesar Rp1,1 miliar lebih.
Merujuk pada pendapat dua hakim tersebut, majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Palu yang terdiri dari Johanis Hehamony sebagai hakim ketua, Sayonara dan Alam Nur sebagai hakim anggota, menyatakan Abdul Rahmat Haris melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.