Tekanan otoritas Hong Kong terhadap komunitas jurnalis yang independen juga ditunjukkan lewat tindakan polisi Hong Kong mendatangi dan menahan Ronson Chan di rumahnya. Ketua Hong Kong Journalist Association (HKJA) dan Deputi Editor Stand News ini baru dibebaskan setelah memberikan pernyataan tertulis dan polisi menahan semua kartu ATM, kartu pers serta memeriksa alat-alat komunikasi elektronik miliknya.
Penutupan paksa media independen ini juga bertentangan dengan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menjamin kebebasan berpendapat, berekspresi, menyampaikan dan menerima informasi. Otoritas Hong Kong sebagai bagian dari komunitas internasional sudah sepatutnya menjalankan ICCPR yang menjadi bagian dari hukum internasional tentang HAM PBB. Untuk itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyampaikan sikap melalui rilisnya.
“Mendorong otoritas Hong Kong untuk membebaskan para jurnalis yang ditahan dengan tuduhan pasal penghasutan dan menghentikan kriminalisasi jurnalis dengan pasal tersebut. Tindakan ini secara nyata telah membuat jurnalis dan media menjadi takut dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik,” bunyi keterangan rilis AJI, yang dikeluarkan oleh Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito dan Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas, Jumat 7 Januari 2022.
Poin sikap AJI berikutnya, mendorong PBB untuk segera mengambil tindakan guna memastikan kebebasan pers di Hong Kong dan melepaskan seluruh jurnalis yang ditahan. Bantahan otoritas Hong Kong yang mengklaim tidak melakukan penindasan dan media menutup atas kemauan sendiri tidak berdasar. Sebab tanpa ada penggerebekan dan kriminalisasi tersebut, tidak mungkin tiga media independen di Hong Kong akan menghentikan operasional mereka.
Kemudian mendorong pemerintah Indonesia untuk menyerukan kepada otoritas Hong Kong berkomitmen dalam menjamin kebebasan pers. Indonesia yang menjadi mitra strategis Hong Kong memiliki peluang dalam memberikan saran perbaikan terkait praktik hak-hak sipil dan politik yang baik di Hong Kong. red