Sementara itu, perusahaan lainnya kini sedang lakukan perekrutan karyawan. Di salah satu desa di Bungku Pesisir, Darson menemukan orang-orang yang ber-KTP di luar Morowali sedang mengurus keterangan domisili.
“Kemarin saya ke (Kecamatan) Bungku Pesisir, ketemu dengan orang-orang yang mengurus domisili di salah satu desa. Ada yang saya tanya, dari Sulsel dan KTP masih di Sulsel tapi mau tinggal di Morowali. Itu akan masuk kategori khusus,” katanya.
Selain itu di Bahodopi, ada rumah susun (rusun) yang dihuni ribuan orang. Pemilih terkonsentrasi di rusun tersebut. Pada tahun 2019, KPU Morowali berhasil lakukan pendataan di rusun tersebut meski awalnya sempat ditolak masuk.
“Ada 8 rusun, dalam satu rusun lima tingkat. Dalam satu tingkatnya kurang lebih 1.000 orang yang tinggal. Dan yang tinggal di situ orang dari luar Morowali,” ungkapnya.
Terkait hal itu, pihaknya akan terus berkoodinasi dengan perusahaan terkait daftar pemilih khusus. Sebab, kata dia dalam PKPU mengatur bahwa salah satu kerja pantarlih adalah menandai pemilih yang sudah pindah ke lain wilayah.
Menurutnya, jika semua pemilih yang berasal dari luar Morowali ditandai maka pantarlih akan bekerja dalam rentang waktu lama, bisa lebih dari satu bulan karena mereka berpindah-pindah.
Bukan hanya teknis pendataan pemilih, tantangan juga akan dihadapi dalam perekrutan badan adhoc, khususnya di Kecamatan Bahodopi.
“Tidak semua orang mau jadi penyelenggara PPK, PPS apalagi, KPPS apalagi, Pantarlih lebih-lebih lagi dengan honor 1 juta satu bulan,” kata Darson.
Menurutnya, warga di wilayah tambang yang berjualan di warung saja bisa mendapatkan penghasilan Rp1 juta dalam satu hari. Mereka akan lebih memilih menjaga warung dari pada menjadi petugas pantarlih.
Sementara itu, Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Morowali, Halima mengakui pemutakhiran data pemilih menghadapi tantangan tersendiri di Morowali.